klik! |
Alfred North Whitehead
dilahirkan pada tanggal 15 februari tahun 1861 di Ramsgate, Kent,
Inggris dan meninggal di Cambridge, Massachusettes, Amerika Serikat pada
tanggal 30 Desember 1947. Dalam konteks sejarah dunia, masa hidupnya
tersebut merupakan masa yang penuh dengan gejolak. Umum diketahui bahwa
pada masa itu terjadi dua perang dunia yang mengguncangkan kehidupan
seluruh umat manusia. Dalam masa itu juga ditandai dengan munculnya
berbagai penemuan penting dalam bidang ilmu pengetahuan serta munculnya
gagasan-gagasan revolusioner yang menciptakan paradigma baru dan
mengubah sejarah. Pada masa itu juga muncul tokoh-tokoh seperti Charles
Dawin, Albert Einstein, William James dan juga Hendri Bergson.
Alfred North Whitehead lahir dan dibesarkan dalam keluarga guru dan
pendeta. Jabatan sebagai kepala sekolah dasar swasta di Ramgate, sudah
dipegang ayahnya sejak tahun 1815. Sampai usia 14 tahun, Whitehead
tinggal di Ramsgate. Ia diajarkan ayahnya sendiri untuk menguasai bahasa
latin dan yunani. Minat akan pendidikan dan sejarah, sejak kecil sudah
ada dalam diri Whitehead. Pada tahun 1875, Whitehead dikirim untuk
sekolah di Sherborne, daerah Dorsetshire, bagian selatan inggris.
Whitehead aktif menjadi seorang prefek (ketua OSIS) di sekolah tersebut.
Di sekolah itu pula mulai muncul minatnya akan matematika yang nantinya
akan menjadi bidang yang akan digeluti Whitehead dalam karier
intelektualnya yang pertama.
Pada tahun 1880 Whitehead masuk Trinity College, di Cambrigde inggris.
Disini ia memusatkan diri pada pendalaman bidang studi matematika murni
dan terapan. Secara formal ia tidak menghadiri kuliah selain kuliah
matematika. Kendati begitu, pendidikan bukan hanya didapat dari kuliah
formal. Berkat diskusi-diskusi dengan para senior dan teman-temannya
diluar jam kuliah, Whitehead banyak belajar mengenai masalah-masalah
politik, agama, filsafat, dan kesusastraan waktu itu. Secara khusus ia
mensyukuri keanggotaannya pada kelompok diskusi tersebut dan pada tahun
1885 ia menjadi guru muda di Cambridge kemudian tak lama setelah itu ia
pindah mengajar ke Trinity College.
Pada bulan Desember 1890 ia menikah dengan Evelyn Wade, gadis irlandia
yang mendapat pendidikan di Prancis. Sesudah menikah mereka hidup
bersama di Grantchester, tak jauh dari Cambrigde. Dari perkawinannya
dengan Evelyn, ia dikaruniai tiga orang anak. Pada tahun 1910 keluarga
Whitehead pindah ke London dan pada tahun 1914 ia diangkat sebagai
professor di Imperial College of Science and Technology. Jabatan ini
dipegangnya sampai tahun 1924. Selama itu, dia juga bekerja sebagai
administrator di Universitas London. Menjelang masa jabatannya berakhir,
dia diangkat menjadi ketua dewan dosen. Saat umurnya berusia 63 tahun,
Whitehead memulai suatu petualangan baru dengan memutuskan untuk hijrah
ke Amerika Serikat, memenuhi tawaran untuk menjadi pengajar Filsafat di
Universitas Harvard. Pada usianya yang ke-86, Whitehead akhirnya
meninggal dunia sebagai salah seoarang filsuf besar abad ini di
Cambrigde, Massachusettes, Amerika Serikat pada 30 Desember 1947.
Karya
Karya-karya Whitehead bisa digolongkan menjadi tiga periode yang
menandai tiga tahap perkembangan dalam karier intelektualnya. Pada
periode pertama, antara tahun 1891 sampai 1913, pusat perhatiannya
adalah pada dunia matematika dan logika. Buku pertama yang ia terbitkan
adalah Universal Algebra (1898). Pada tahun 1905 ia menerbitkan sebuah artikel yang cukup mempengaruhi perkembangan filsafatnya dikemudian hari, yakni “On Mathematical Concepts of the Maoms of Projective Geometry (1906). Dan The Axiom of Descriptive Geometry (1997). Pada tahun 1910 terbitlah buku yang cukup terkenal dan dia kerjakan bersama Bertrand Russell, yakni Principia mathematica. Periode pertama dalam perkembangan pemikiran Whitehead dimulai di Cambridge, Inggris, dan berhenti di London.
Periode kedua yang berlangsung dari tahun 1914 sampai 1923, oleh Victor Lowe disebut sebagai “London Pre-Speculative Epistemology”.
Pada periode ini Whitehead memusatkan perhatiannya pada pengembangan
suatu filsafat ilmu alam. Pada tahun 1914 ia menulisk sebuah artikel
yang secara embrional sudah menampakkan beberapa ciri filsafatnya di
kemudian hari. Artikel tersebut antara lain: “La Theorie Relationiste de
l’ Espace”, “The Organisation of Thought”. Serta buku-buku yang
berkaitan dengan ilmu alam yang mengandung unsure filosofis seperti: An
Enquiry Concerning The Principles of Natural Knowledge (1919), The
Concept of Nature (1920), dan The Principle of Relativity (1922).
Periode kedua seluruhnya berlangsung di London.
Periode ketiga adalah periode Harvard. Di sana Whitehead sungguh-sungguh
mulai menperkembangkan pemikiran filosofisnya. Periode ini oleh Victor
Lowe disebut sebagai periode metafisika, karena dalam buku-bukunya
Whitehead pada dasarnya mencoba untuk menyajikan suatu metafisika
kosmologis dan pengetengahan peran gagasan-gagasan metafisis dalam
perkembangan peradaban manusia. Sejak dia pindah ke Amerika, Whitehead
mulai memberikan kuliah dan ceramah-ceramah dalam bidang filsafat. Pada
tahun 1925 terbitlah bukunya yang mengawali pemikiran metafisisnya
yaitu, Science and the Modern World. Tahun berikutnya (1926) terbit
bukunya tentang kehidupan beragama yang berjudul Religion in the Making.
Tahun 1927 ia menerbitkan buku yang memuat alur-alur pokok gagasan
epistemologisnya yakni Symbolism, Its Meaning and Effect.
Karya terbesar dan merupakan suatu penyajian sistematis dari filsafatnya
yang dia sebut sebagai filsafat organism adalah Process and Reality.
Buku ini terbit tahun 1929 memang terkenal untuk dibaca dan dipahami
isinya. Bukan hanya karena di dalamnya dikemukakan gagasan-gagasan baru
yang menuntut perubahan cara berpikir kita yang biasa, tetapi juga
karena begitu banyak istilah baru yang ia ciptakan dan gunakan.
Whitehead amat sadar akan keterbatasan bahasa dalam mengungkapkan isi
pikiran.
Beberapa Pemikiran Pokok Alfred North Whitehead
- Pandangan Tentang Filsafat Spekulatif (Metafisika)
Berbeda dengan kebanyakan filsuf abad ini yang menolak atau
setidak-tidaknya menaruh curiga terhadap arti dan pentingnya filsafat
spekulatif (metafisika), Whitehead menandaskan bahwa filsafat spekulatif
itu penting dan berguna. Filsafat spekulatif itu penting untuk member
suatu pandangan yang bersifat sintesis (bersifat men-sintesis-kan) dan
menyeluruh atas realitas, yang dewasa ini cenderung terfragmentasikan.
Kecenderungan tersebut pada dasarnya muncul sebagai akibat dari arus
profesionalisme yang telah membuat ilmu-ilmu semakin terspesialisasi dan
komunikasi antardisiplin ilmu semakin sulit dilakukan.
Karena hal tersebut, Whitehead yakin bahwa, pada puncak-puncak
perkembangan peradaban, tidak adanya filsafat yang bisa memberikan yang
bisa memberi suatu visi integrative dan menyeluruh mengenai realitas,
akan menyebabkan terjadinya kemerosotan, kebosanan, dan berkurangnya
kegairahan usaha. Adanya visi integrative dan menyeluruh yang bisa
member arti kepada berbagai kegiatan dalam masyarakat, bisa memberi arah
pada perkembangan sejarah. Whitehead merumuskan filsafat spekulatif
sebagai usaha untuk merumuskan suatu system pemikiran-pemikiran umum
yang bersifat koheren, logis, dan pasti, atas dasar mana setiap unsur
pengalaman dapat diterangkan. Whitehead sendiri mengakui bahwa belum ada
system filsafat yang begitu sempurna sampai bisa menerangkan segala
unsure pengalaman berdasarkan system tersebut. “keterbatasan daya
pengertian dan kekurangtepatan bahasa dalam merumuskan gagasan,
senantiasa akan merupakan penghalang”. Selain keterbatasan bahasa dalam
kemampuannya untuk mengerti keseluruhan kenyataan sedalam-dalamnya,
membuat kita mesti puas dengan hasil usaha yang secara asimptosis saja
(selalu hanya bisa mendekati tanpa pernah bisa menyentuh), atau selalu
hanya mendekati saja apa yang ideal.
Inilah sebabnya Whitehead menyebut skema pemikiran tersebut tidak lebih
dari “hipotesis kerja”. Tujuannya, sebagaimana dia sendiri rumuskan,
adalah “untuk mengkoordinasi ungkapan-ungkapan pengalaman manusia dewasa
ini, dalam pembicaraan umum, dalam lembaga-lembaga sosial, dalam
kegiatan-kegiatan, dalam prinsip-prinsip yang mendasari macam-macam
ilmu, dengan mencoba menerangi unsur-unsur yang selaras dan menunjuk
hal-hal yang tidak sesuai satu sama lain. Metode yang ditempuh dalam
menyusun system atau skema pemikiran umum yang terpadu itu oleh
Whitehead disebut sebagai “imaginative generalization” (perampatan
imaginative). Perampatan tersebut berangkat dari suatu pengalaman
konkret tertentu dan dicari struktur dasarnya yang berlaku umum. Sistem
atau skema pemikiran yang dirumuskan itu mesti mempunyai baik segi
rasional maupun segi empiris.
Filsafat spekulatif bertitik tolah dari pengalaman konkret sebagaimana
dikondisikan oleh dunia actual. Pengalaman empiris dalam segala kekayaan
dan kompleksitasnya merupakan sumber dari mana diambil bahan untuk
refleksi filosofis. Prinsip-prinsip metafisis yang bersifat umum dan
yang secara imajinatif ditarik dari pengalaman empiris tadi merupakan
suatu ‘hipotesis kerja’ untuk menerangkan berbagai jenis pengalaman yang
lain. Hipotesis kerja ini mesti diujicobakan dengan melihat apakah
memang bisa dipakai untuk menjelaskan berbagai aspek pengalaman yang
lain. Sebagai hipotesis kerja, sistem metafisika tidak pernah bersifat
final. Kita mesti tetap terbuka terhadap kemungkinan perkembangan dan
munculnya hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada. Whitehead
menyadari bahwa pengetahuan manusia itu masih akan terus berkembang, dan
setiap usaha mensistematisasikan pengetahuan yang masih terus akan
berkembang. Oleh karena itu ia memperingatkan bahwa sistematisasi itu
tidak pernah bersifat final.
- Pandangan Filosofis tentang Alam Dunia (Kosmologi)
2.1. Alam dunia sebagai suatu proses organis
“Proses” merupakan suatu kategori dasariah dalam filsafat Whitehead,
sehingga filsafatnya sering disebut dengan filsafat proses. Dalam
pengertian proses sendiri terkandung makna adanya perubahan berdasarkan
mengalirnya waktu (temporal change) dan kegiatan yang saling berkaitan
(interconnected activities). Proses tersebut merupakan suatu proses
organis. Artinya, ada saling keterkaitan antara unsur-unsur yang
membentuknya , dan keseluruhan wujud bukan hanya sekedar penjumlahan
unsur-unsure bagiannya. (The whole is not equivalent to the sum of its
parts).
klik sumber |
Sebagai ganti simbol dasar ‘mesin’ yang dipakai oleh Materialisme Ilmiah
dalam memandang keseluruhan realitas, Whitehead mengambil simbol dasar
‘organisme’. Dan simbol dasar ini mau ditegaskan bahwa seluruh realitas
(dunia, manusia dan Tuhan) itu bersifat dinamis, selalu berubah, dan
mengandung unsur baru. Seluruh realitas berproses dan unsur-unsurnya
saling terkait. Setiap unsure atau bagian dari keseluruhan sistem
menyumbang pada kegiatan seluruh sistem sebagai satu kesatuan.
Sebaliknya, keseluruhan sistem sebagai satu kesatuan memperoleh kegiatan
masing-masing unsur atau bagiannya.
Whitehead lebih lanjut, mempertahankan adanya pluralitas atau
kemajemukan realitas. Individualitas dan integritas setiap peristiwa
dipertahankan dalam perpaduan organis dengan peristiwa-peristiwa yang
lain. Setiap satuan aktual dalam arti tertentu menciptakan dirinya
sendiri berdasarkan data yang diwarisinya dan dengan mengacu pada
cita-cita diri yang bersumber pada ‘Tuhan’ dalam aspek yang primordial.
Setiap satuan aktual, sebagai proses organis, dalam dirinya sendiri
merupakan suatu individu baru dan bukan sekedar buah hasil penyatuan
unsur-unsur yang membentuknya. Setiap satuan aktual merupakan suatu
‘subjek’ yang ‘mengalami’ dan ‘mewarnai’ seluruh alam lingkungannya.
Dengan ini Whitehead mempertahankan adanya kebebasan ‘subjek’ dalam
menentukan diri berdasarkan situasi konkret yang mengkondisi dirinya dan
menghindarkan diri dari suatu monism panteistik.
2.2. Alam dunia sebagai jaringan satuan-satuan aktual
Alam dunia dan realitas secara keseluruhan, dalam pandangan Whitehead,
merupakan jaringan atau keterjalinan satuan-satuan aktual yang saling
meresapi atau mempengaruhi. Setiap satuan aktual secara esensial
terjalin dengan satuan-satuan aktual lainnya. Apa yang disebut oleh
Whitehead sebagai prinsip proses, menyatakan bahwa hakikat setiap
pengada ditentukan oleh bagaimana ia menciptakan diri dalam proses
menjadi dirinya. Ada hubungan internal dan bukan hanya hubungan
eksternal antara satuan aktual yang satu dengan satuan-satuan aktual
yang lain. Realitas aalah suatu jaringan atau keterjalinan macam-macam
hubungan, suatu medan gerak aktivitas yang saling
mempengaruhi. Whitehead lebih lanjut mengatakan bahwa keseluruhan dalam
mana organism menjadi bagian dari lingkungan (environment) untuk
organism tersebut. Hubungan timbal balik antara sebuah organism dengan
lingkungannya dimengerti sebagai hubungan antara bagian dan keseluruhan.
Whitehead menamai hal tersebut sebagai organic mechanism, yaitu
teori mekanisme dalam mana rancangbangun keseluruhan mempengaruhi
ciri-ciri sendiri dari bagian-bagiannya. Sehingga ciri-ciri keseluruhan
tidak dapat dideduksikan begitu saja dari ciri-ciri bagiannya.
Suatu implikasi penting dari faham tersebut adalah bahwa alam dunia ini
secara lepas keseluruhan bukan sekedar penjumlahan banyak benda yang
lepas-lepas atau masing-masing berdiri sendiri dan hanya secara
eksternal saja berhubungan satu sama lain serta secara univok dapat
dijelaskan berdasarkan prinsip materi dan gerak. Alam dunia secara
keseluruhan merupakan suatu ekosistem, suatu organism dimana
bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuknya saling berkaitan dan saling
tergantung serta ada hubungan timbal balik antara bagian dan
keseluruhan. Alam dunia juga tidak dimengerti secara statis, dan
mekanisme geraknya diterangkan melulu berdasarkan prinsip sebab-akibat
(causa efficient), tetapi secara dinamis dan teleologis.
2.3. Alam dunia terus berubah dalam waktu
Bagi Whitehead, alam dunia merupakan suatu realitas yang bersifat
dinamis, suatu proses yang terus menerus ‘menjadi’ (a process of
becoming). Alam dunia dengan segala isinya merupakan suatu rangkaian
peristiwa dengan puncak-puncak atau gumpalan-gumpalan gelombang
pengalaman. Alam dunia terus berubah dalam waktu. Sebagai orang yang
menerima konsep evolusi, Whitehead mempunyai konsep linear mengenai
waktu dan bukan siklis. Namun, konsep waktu linear tidak berarti bahwa
waktu tidak lain hanyalah suatu deretan atau rangkaian saat-saat (series
of instances), melainkan suatu aliran kesatuan peristiwa. Demikianlah,
meskipun alam dunia yang berubah dalam waktu ini sebagai keseluruhan
bersifat organic, satuan-satuan aktual yang membentuknya, sebagai satu
kesatuan, bersifat atomis, unik dan tak terbagi. Pengertian ini bagi
Whitehead bisa dipakai untuk menjelaskan adanya identitas diri atau
aspek permanen dalam proses perubahan. Permanensi lebih dimengerti
sebagai pola-pola tetap yang kembali dalam proses perubahan yang
sinambung daripada sebagai suatu substansi yang sendiri tetap tidak
berubah.
- Pandangan Filosofis Tentang Manusia (Antropologi)
3.1. Materialitas Manusia: Manusia sebagai bagian dari alam
Whitehead menyatakan bahwa manusia dalam arti tertentu merupakan bagian
dari alam. Kendati ia tidak menolak adanya apa yang secara tradisional
disebut sebagai ‘jenjang-jenjang pengada’ (levels of being) atau
struktur hirarkis dalam tata susunan alam semesta, Whitehead, sesuai
dengan ajaran evolusi, menekankan adanya kesinambungan antara keberadaan
manusia dengan jenjang-jenjang keberadaan di bawahnya. Manusia
merupakan bagian dari alam. Unsure-unsur alami terdapat dalam diri
manusia. Hukum alam dalam arti tertentu juga berlaku untuk manusia.
Meskipun Whitehead tidak akan menolak keluhuran manusia sebagaimana
diungkapkan dalam pernyataan manusia pertama-tama adalah makhluk rohani,
atau pernyataan ‘manusia adalah puncak dari segala penciptaan’.
Pemisahan radikal manusia dari alam lingkungan untuk menekankan
kerohanian dan transendensinya, ternyata telah ikut memperkuat pandangan
materialistis dan mekanistis terhadap alam. Alam dianggap sebagai tidak
lain hanyalah seonggok materi atau benda mati yang hukum-hukumnya bisa
diketahui secara pasti. Aspek hidup dan ‘kerohanian’ yang memunculkan
unsur proses atau perkembangan, unsure nilai, unsur makna, dan unsure
kebaruan sama sekali diekseklusifkan dari alam. Alam tidak berproses
atau mengalami perubahan dan pembaruan dalam perjalanan waktu; alam juga
tidak punya nilai dalam dirinya sendiri. Dalam pendangan ini manusia
sebagai makhluk yang bebas, manusia sama sekali tidak terikat oleh alam
lingkungannya. Ia menjadi tuan atas seluruh ciptaan dan bisa berbuat
semaunya terhadap alam. Inilah pandangan dualistis (pemisahan manusia
dari alam) yang cenderung bersifat eksploitatif terhadap alam.
Untuk mengatasi pandangan dualistis tersebut, Whithead mencetuskan
gagasannya tentang “pansubjektivisme”. Seperti telah disinggung bahwa ia
secara imaginative memakai kategori ‘subjek’ bukan hanya untuk manusia,
melainkan juga untuk satuan-satuan aktual infrahuman. Sejauh kita
sadari bahwa apa yang dia maksudkan dengan pengertian ‘subjek’ tidak
secara langsung dikaitkan dengan pengertian kesadaran dan kebebasan.
Dalam pemikiran Whitehead, unsur-unsur identik yang menghubungkan
pengalaman manusia dengan ilmu fisika adalah unsur ‘subjek’ sebagai
suatu hasil proses intrinsic (punya nilai pada dirinya sendiri) untuk
‘mengolah’ warisan masa lalu dengan unsur-unsur baru. Aspek
‘kesejarahan’ atau kesinambungan dengan masa lalu bukan hanya berlaku
untuk pengalaman manusia, melainkan juga dalam realitas alam. Bahwa
manusia merupakan bagian dari alam, baik manusia maupun alam merupakan
suatu ‘serikat satuan-satuan aktual’ (society of actual entities) yang
berkutub dua atau “bipolar”, yakni kutub fisik dan kutub mental.
Bahwasanya manusia itu merupakan bagian dari alam, bagi Whitehead
menjadi nyata dari betapa eratnya badan manusia dengan dunia sekitarnya.
Pengetahuan kita tentang badan menempatkannya sebagai satu satuan
kompleks peristiwa-peristiwa dalam lingkungan alam yang lebih besar.
Garis batas yang jelas untuk memisahkan badan dengan alam lingkungan,
sulit untuk ditarik. Whitehead pernah berkata: “When we consider the
question with microscopic accurancy, there is no difinte boundary to
determine where the body begins and external nature ends”. (kalau kita
mengkaji masalahnya dengan ketepatan sekecil-kecilnya, akan menjadi
nyata bahwa tidak ada batas yang secara jelas bisa ditentukan di mana
badan manusia itu mulai dan alam luar itu berakhir ).
3.2. Historisitas dan kebebasan manusia : manusia sebagai makhluk yang dinamis
Selaras dengan sentralnya kategori ‘proses’ dalam kosmologi Whitehead,
maka pemikiran tentang manusia juga dipandang sebagai makhluk yang
dinamis. Manusia mempunyai kekuatan atau daya kemampuan untuk bertumbuh
dan berkembang. Bipolar sebagai sifat mental sekaligus sifat fisik,
merupakan proses aktual, dan kreatif diri. Dengan demikian akan terjadi
proses dinamika dalam bentuk keterbukaan pada alternatif-alternatif baru
yang lebih luas.
Kebebasan bagi Whitehead hadir dalam seluruh kosmos. Namun baru pada
manusia kebebasan itu disadari dan menjadi suatu aktualitas. Dalam
proses pertumbuhan hal-hal infrahuman unsur determinasi internal lebih
berkuasa. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia baru sungguh-sungguh
hidup atau menghidupi hidupnya kalau terus-menerus aktif membentuk
dirinya. Manusia ‘mengada’ dan terus-menerus ‘menjadi’. Dalam hal ini ia
juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia untk mengisi hidupnya
yang autentik dan bermakna. Sesuai dengan prinsip ‘proses’, bagi
Whitehead, hakikat keberadaan seseorang, terletak dalam bagaimana dia
secara aktif, kreatif, dan inovatif memanfaatkan warisan masa lalunya
untuk suatu perwujudan baru kehidupannya yang member intensitas
pengalaman hidup secara lebih mendalam.
3.3. Sosialitas manusia: manusia hidup dari dan untuk yang lain
Sosialitas (kesosialan) manusia, yakni kenyataan bahwa manusia itu tidak
bisa hidup lepas dari hubungannya dengan manusia lain atau bahwa
manusia itu makhluk yang memasyarakat, merupakan sesuatu penekanan dalam
pemikiran fisafat Whitehead. Hal ini nyata dari apa yang dia sebut
sebagai “prinsip relativitas” yang berbunyi: bahwa merupakan hakikat
setiap pengada bahwa ia merupakan potensi untuk setiap ‘proses menjadi’.
Setiap satuan aktual dalam proses menjadi dirinya, kendati merupakan
proses penciptaan diri (self-creation), namun bukan merupakan kegiatan
sendiri yang terisolasi dari yang lain. Sebaliknya merupakan proses
lahirnya satu individu baru dari banyak individu lama yang dalam dirinya
sendiri telah mencapai kepenuhan adanya. Dan menyediakan diri untuk
menjadi potensi untuk proses ‘menjadi’ (becoming) satuan aktual
selanjutnya. Setiap satuan aktual yang dalam dirinya sendiri telah
mencapai kepenuhan adanya dan mati, tidaklah hilang lenyap ke ketiadaan,
melainkan secara objektif hadir (mengalami ‘objective immortality’)
dalam satuan aktual berikutnya. Inilah apa yang ia sebut sebagai proses
“transition” atau proses makroskopis. Penjalinan hubungan (relation)
dengan yang lain bukan hanya sesuatu yang bersifat aksidental, melainkan
sesuatu yang bersifat esensial untuk setiap pengada.
- Pandangan Filosofis tentang pengetahuan (Epistemologi)
4.1. ‘Prehensi’ mengetasi dikotomi subjek-objek
Sumbangan pokok Whitehead pada filsafat pengetahuan (epistemology) terletak dalam teorinya tentang persepsi yang dia sebut “prehension” (prehensi).
Pernyataan ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Salah satu masalah
pokok yang muncul dalam epistemologi sejak Descartes adalah masalah
kriteria kebenaran pengetahuan dalam kaitannya dengan hubungan antara
subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Dua aliran besar
menandai pemikiran dalam zaman filsafat modern, yakni realism dan
idealism. Teori Whitehead tentang ‘prehensi’ bermaksud untuk mengatasi
dikotomi atau pemisahan yang sepertinya tidak menjembatani antara subjek
dan objek, tanpa mereduksi ke salah satu. Hal ini misalnya menjadi
nyata dalam kritiknya terhadap sensasionalisme yang berpendapat bahwa
pengetahuan itu muncul berkat penerimaan secara pasif oleh subjek atas
rangkaian impresi-impresi atomis yang berasal dari objek di luar subjek
dan ditangkap sebagai suatu gabungan oleh pancaindera. Pendapat ini
diyatakan oleh David Hume, yang oleh Whitehead dianggap tidak sesuai
dengan pengalaman yang nyata. Memang kalau orang membatasi pencerapannya
terhadap lingkungan pada apa yang secara jela dan tegas bisa diterima
dengan memakai pancaindera, maka yang dialami oleh manusia memang
hanyalah sense atau serangkaian impresi-impresi inderawi. Namun
pencerapan atau persepsi inderawi itu bukanlah jenis persepsi yang
paling mendasar, melainkan merupakan sebuah abstraksi.
Whitehead sendiri membedakan tiga jensi persepsi. Yang pertama adalah “presentational immediacy” yaitu persepsi berdasarkan pancaindra. Yang kedua adalah “presentational immediacy”,
yang menurut Whitehead jenis persepsi ini sudah merupakan abstraksi
dari jenis persepsi yang lebih mendasar. Dan yang terakhir adalah dia
sebut sebagai “symbolic referece”. Jenis persepsi ini adalah persepsi yang secara umum kita mengerti, yakin perpaduan antara “causal efficacy” dan “presentational immediacy”. Teori
persepsi Whitehead yang disebut ‘prehensi’ bisa mengatasi kesulitan
epistemology mengenai bagaimana ‘aku’ bisa tahu sesuatu diluar ‘aku’.
Karena si ‘aku’ sebagai serikat satuan-satuan aktual bukan merupakan
sesuatu yang tertutup dan berdiri sendiri (sebagaimana yang dimengerti
oleh Descartes), melainkan sesuatu yang lahir dari warisan masa lalu
dengan nama ‘aku’ kini mempunyai kesinambungan historis, dan
mengantisipasi pada ‘aku’-‘aku’ lain yang pada masa mendatang akan
terpengaruhi, maka dalam setiap proses kegiatan (termasuk di dalamnya
kegitan untuk tahu) ‘yang lain’ atau segala sesuatu di luar ‘aku’,
senantiasa dilibatkan.
- Pandangan Filosofis tentang Moral (Etika)
5.1.Moralitas: Pengaturan proses demi maksimalisasi bobot kehidupan
Dalam bukunya Mode of Thought (hal. 13-14) Whitehead mengatakan: “Morality
consist in the control of process so as to maximize importance. It is
the aim greatness of experience in the various dimensions belonging to
it.” (Moralitas terdiri dari pengaturan control demi maksimalisasi
bobot kehidupan. Tujuannya adalah untuk mengejar keagungan pengalaman
dalam berbagai dimensinya yang terkandung dalam pengalaman tersebut.
Beberapa baris kemudian dalam buku yang sama ia melanjutkan: “Morality
is always the aim at that union of harmony, intensity, and vividness
which involves the perfection of importance for that occasion.” (Moralitas
selalu merupakan cita-cita ke arah kesatuan selaras, intensitas/
kedalaman pengalaman, dan kesegaran hidup yang melibatkan penyempurnaan
bobot untuk satuan pengalaman tertentu).
Dari pernyataan tentang “process” dan “importance” merupakan dua kata
kunci untuk memahami pandangan tentang moral. Bahwasanya ‘berada’ (to
be) bagi Whitehead adalah merupakan proses (to become). Dengan memahami
moralitas sebagai pengaturan/ control atas proses mau ditandaskan bahwa
moralitas perlu ditempatkan dalam konteks dinamika kehidupan dan bukan
pertama-tama dalam aturan-aturan, hukum, ataupun nilai-nilai absolute
dan abstrak lepas dari gerak perubahan zaman dan pergulatan hidup
manusia nyata. Whitehead lebih lanjut bermaksud untuk menyatakan bahwa
benar-salahnya tindakan atau baik-buruknya kelakuan manusia pada
dasarnya tidak pertama-tama ditentukan oleh ditaati-tidaknya
peraturan-peraturan tertentu atau dilakukan-tidaknya perbuatan-perbuatan
tertentu, melainkan oleh kesetiaan setiap individu dalam tanggung
jawabnya untuk menjadi pribadi yang sebaik mungkin dalam setiap situasi
konkret yang dihadapinya. Disini tanggung jawab pribadi bertujuan untuk
mengolah hidup yang nyata guna semaksimal mungkin menjadi dirinya
sebagai pribadi yang bermutu mendapatkan tekanan.
5.2. Etika sebagai bagian dari estetika
Yang baik bagi Whitehead adalah yang secara moral indah atau selaras.
Keindahan dan keselarasan baik dalam seni maupun dalam moral muncul jika
ada kesatuan dari keanekaragaman dalam suatu pola tertentu yang
memadukan unsur-unsurnya tanpa menghilangkan atau mematikan keunikan
masing-masing. Bedanya hanya kalau seni menekankan kedalaman pengalaman
sekarang dan di sini, sedangkan moral lebih mengacu pada akibat tindakan
sekarang pada yang akan datang. Bagi Whitehead, baik dalam seni maupun
dalam moral keindahan diakibatkan oleh adanya apa yang dia sebut sebagai
“patterned contrast”, yaitu keterpaduan unsur-unsur yang beragam dalam
kesatuan pola tertentu. Penikmatan keindahan dan pewujudan kebaikan
dalam pandangannya mengandung struktur yang sejajar. Baik dalam seni
maupun dalam moral perlu adanya peresapan atau pemakaian suatu norma,
adanya stabilitas, dan modifikasi norma tersebut. Ditaatinya norma
mendasari adanya stabilitas dan kesinambungan dengan sejarah masa lalu.
Tradisi sebagai endapan kebijaksanaan yang diwariskan oleh para
pendahulu kepada generasi sekarang bukan sesuatu yang dapat dibuang
begitu saja. Sebaliknya tradisi tersebut perlu digali, dimengerti, dan
diberi perwujudan baru sesuai dengan perkembangan zaman. Di sinilah
pentingnya modifikasi norma yang ada. Tanpa adanya modifikasi yang bisa
memelihara relevansi arti dari suatu tradisi, cepat atau lambat tradisi
tersebut akan menjadi basi dan mati.
Perlunya suatu aturan untuk menjaga kesinambungan dengan masa lalu dan
kestabilan di satu pihak, dan perlunya modifikasi aturan, perlunya
pembaruan serta sikap berpetualang di lain pihak, oleh Whitehead
dirumuskan menjadi dua prinsip dasar moral yang tak terpisahkan, yakni
prinsip ‘keteraturan’ dan prinsip ‘kasih’. Yang pertama menandaskan
kepentingan umum dan kedua menggarisbawahi perlunya perhatian pada
kepentingan setiap individu warga masyarakat. Suatu tindakan dapat
dibenarkan secara moral kalau itu meningkatkan kesejahteraan umum dan
hormat terhadap kepentingan individu yang bersangkutan. Whitehead
menginginkan dengan upanyanya yang mengaitkan etika dengan estetika, dia
bermaksud untuk menunjukan bahwa pada keduanya kepastian kebenaran
keputusan tidak pernah bisa ditentukan secara matematis, mutlak dan
apriori. Dalam penilaian moral, sebagaimana dalam penilaian estetis,
unsur intuisi selalu ikut main. Demikian juga ketepatan dalam menilai
tidak pernah hanya tergantung dari kemampuan kognitif manusia.
5.3. Relativisme moral?
Kenyataan bahwa seluruh pemikiran filsafat Whitehead mengambil model
dasar pengalaman estetis sebagai model penjelasan pengalaman serta lebih
menekankan segi proses daripada substansi mungkin memberikan kesan
bahwa dalam teori moral Whitehead akan jatuh ke paham relativisme moral
yang menolak adanya norma moral yang berlaku umum. Whitehead memang
secara eksplisit menolak adanya hukum-hukum moral yang berlaku secara
universal dan sepanjang zaman tanpa perlu adanya perubahan. Ia menulis “There is no one behavior-system belonging to the essential character of the universe, as the universal moral ideal”. Whitehead
memberikan dua alasan mengapa paham tentang adanya hukum-hukum moral
tertentu yang berlaku universal perlu ditolak: (1) Hidup moral
menyangkut kegiatan hidup konkret di mana setiap situasi cukup khas dan
tidak bisa disamaratakan begitu saja dengan situasi lain; perubahan atau
proses merupakan suatu yang penting untuk diperhatikan. (2) kendati
hidup moral mengandaikan adanya nilai-nilai abadi yang bersifat
normative, namun penerapannya atau perwujudannya nilai-nilai tersebut
selalu tidak bisa dilepaskan dari situasi konkret yang memerlukan
pertimbangan dan keputusan moral.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa peraturan moral, pola-pola tingkah laku
manusia perlu senantiasa disesuaikan dengan perkembangan sejarah dan
situasi moral konkret saat keputusan diambil. Namun, ini tidaklah
berarti bahwa dia jelas-jelas seorang penganut paham relativisme moral,
karena ia misalnya, menolak adanya dan perlunya prinsip moral yang
bersifat umum. Karena menurut dia peraturan-peraturan moral konkret itu
harus berlaku relative dan perlu terus-menerus disesuaikan dengan
situasi konkret yang dihadapi.
- Pandangan Filosofis tentang Tuhan dan Agama
6.1. Kemerosotan pengaruh agama pada zaman modern
Menurut pengamatan Whitehead atas sejarah, pengaruh agama-agama dalam
kehidupan manusia dewasa ini (dia membuat pernyataan ini tahun 1925
dengan latar belakang dunia Eropa dan Amerika) sudah tidak sekuat dan
seefektif masa-masa yang lalu. Agama-agama itu dalam anggapannya telah
kehilangan genggaman pengaruh atas dunia. “They have lost their ancient hold upon the world”.
Apakah alasan yang menyebabkan kemerosotan ini? Menurut Whitehead,
sekurang-kurannya ada dua alasan pokok yang menyebabkan kemerosotan
tersebut. Asalan pertama adalah stagnasi yang menimpa kehidupan
beragama. Stangnasi tersebut misalnya, terungkap dari sikap
konservatisme dan sikap defensive kaum agamawan dalam menghadapi
perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan
science dan teknologi. Sikap defensif ini yang kemudian dalam pandangan
Whitehead yang telah merusak citra kewenangan intelektual para pemikir
atau tokoh-tokoh agamawan. Baginya agama tidak akan mampu memperoleh
kembali pengaruhnya atas manusia modern kalau tidak menghadapi tantangan
perubahan zaman sebagaimana terjadi dalam science. Kendati
kaidah-kaidah dasar agama itu abadi, ungkapannya dalam perjalanan sejarh
memerlukan perubahan dan penyesuaian. Bagi Whitehead kemajuan science
dan teknologi tidka perlu dipandang sebagai ancaman untuk agama;
sebaliknya kemajuan tersebut dapat merangsang beberapa pemikiran kritis
yang nantinya akan memperkuat agama. Tuntutan untuk perubahan dan
penyesuaian ungkapan keagamaan ini berarti bahwa konservatisme dan
absolutism dogmatis tidak sesuai dengan dunia modern. Bagi Whitehead
“agama-agama melakukan bunuh diri kalau mendasarkan inspirasinya
terutama pada dogma mereka”.
Alasan kedua yang menyebabkan kemerosotan pengaruh agama di zaman modern
ini, menurut Whitehead adalah ketidaksesuaian antara gambaran tentang
Tuhan yang secara tradisional cukup banyak diberikan oleh agama-agama
yang ada dengan gambaran manusia modern. Tuhan dalam gambaran
tradisional adalah bagaikan raja absolute yang selalu harus ditakuti dan
dipatuhi titahnya. Dalam gambaran tersebut kemahakuasaan Tuhan terlaku
ditekankan. Padahal, dalam gambaran manusia modern, Tuhan lebih dilihat
Sebagai kekuasaan kasih yang memberikan ruang kebebasan pada manusia
untuk memikul tanggung jawab pribadinya.
Bagi Whitehead, Tuhan dalam gambaran tradisional sebagai pencipta yang
amat transenden, yang maha sempurna dan tetap tak berubah, juga
cenderung kurang memberikan tempat pada imanensiNya dalam proses
pergolakan sejarah umat manusia. Dalam gambaran tersebut Tuhan dengan
manusia di dunia dilukiskan seperti hubungan raja-raja Mesir dan
Mesopotamia kuno terhadap rakyat bawahan mereka. Tuhan digambarkan
sebagai penguasa mutlak yang bisa memberi titah sewenang-wenang dan
wajib ditaati oleh para pengikutnya. Tuhan bagaikan raja tiran yang
penuh kuasa di balik kekuatan alam yang tak dikenal. Dengan demikian
Tuhan dalam gambaran itu lebih merupakan musuh dengan siap mesti
diadakan perjanjian damai daripada sahabat yang perlu diteladani. Tuhan
lebih dimengerti sebagai pribadi yang mesti ditakuti daripada pribadi
yang pantas dicintai.
Bagi Whitehead, gambaran Tuhan seperti itu bertentangan dengan aspirasi
manusia modern yang sangat menghargai kebebasan dan nilai pribadi
manusia. Kalau pewartaan agama mau tetap menyapa aspirasi manusia
modern, kiranya perlu suatu perumusan kembali atas gambaran tentang
Tuhan. Inti pewartaannya perlu diubah dari kibab suci yang mengundang
ketakutan dengan kitab suci yang mengundang sikap hormat dan kasih. Bagi
Whitehead, gambaran Tuhan sebagai penguasa ilahi yang bisa bertindak
sewenang-wenang bukan hanya secara psikologis tidak sesuai dengan
semangat manusia modern, melainkan juga secara intelektual tidak
memuaskan. Pertama, jika Tuhan itu dipandang sebagai mahakuasa dalam
segala hal, itu berarti bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa terjadi di
dunia ini yang tidak Dia kehendaki atau perbolehkan. Tetapi kalau
begitu, berarti bahwa Dia betanggungjawab untuk setiap kejadian apapun
di dunia ini, termasuk kejadian yang jahat. Bersediakah kita secara
teologis menerima kenyataan itu? Keduanya, karena dalam proses tersebut
Tuhan dikecualikan dari semua kategori metafisis yang berlaku untuk
dunia ini, atau dengan kata lain transendensi –nya begitu ditekankan,
mengalahkan jurang pemisah Tuhan dari manusia dan dunianya, sebuah
jurang yang membuat sulit bahkan untuk membuktikan keberadaan-Nya saja.
Sebagai konsep alternative, Whitehead mengemukakan paham tentang Tuhan
yang kemudian terkenal dengan sebutan Panenteisme. Menurut paham ini,
semuanya yang ada termuat dalam Tuhan yang, seperti yang telah
dijabarkan memiliki dua aspek, yakni aspek awali (primordial) dan akhiri
(consequent). Tuhan dalam aspek primordialnya merupakan perwujudan
konseptual dari seluruh kekayaan potensialitas absolute, suatu penataan
segala kemungkinan bentk perwujudan konkret “objek-objek abadi” dalam
proses konkresi “satuan-satuan aktual”. Aspek “primordial” Tuhan dalam
pengertian Whitehead rupanya sejajar dengan apa yang pengertian kita
biasa kita sebut sebagai Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan aspek
“consequent” sejajar dengan pengertian Tuhan sebagai Penebus.
Paham panenteisme dikemukakan sebagai suatu pemikiran teologis untuk
mengatasi kelemahan baik yang terdapat pada Panteisme yang tidak cukup
membedakan Tuhan dari dunia, maupun Monoteisme yang terlalu memisahkan
Tuhan dari dunia. Tuhan, menurut pandangan panenteisme, tidak “di luar”
ataupun “di samping” dunia, dan juga tidak ada “sebelum” dunia
dijadikan, tetapi selalu korelatif atau ada bersama dengan dunia.
Kesempurnaan dan kemahakuasaan Tuhan tidak terletak di dalam
keberadaannya Nya yang begitu transenden atau sama sekali mengatasi
dunia ini dan selalu tetap tidak mengalami perubahan sedikitpun, tetapi
justru di dalam kasih-Nya yang membiarkan diri diubah dan digerakkan
oleh segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
6.2.Agama sebagai sumber visi dan motor perjuangan
Selaras dengan pandangan dunia yang dinamis tentang realitas, Whitehead
melihat agama bukan pertama-tama sebagai penjaga atau pengatur hidup
moral para pemeluknya, melainkan sebagai sumber visi dan motor
perjuangan. Ia menyadari bahwa dalam kenyataannya, agama sering kali
bukannya menjadi visi ke depan dan motor perjuangan yang memberi
keberanian untuk bertualang dan mengambil resiko, melainkan menjadi
sumber kekolotan. Menurutnya kelakuan yang baik memang bisa merupakan
suatu hasil hidup beragama, karena kalau dihayati secara ikhlas dan
dimengerti secara benar agama akan menghasilkan suatu pertobatan, suatu
perubahan watak dari yang buruk menjadi yang baik. Namun, ini bukanlah
satu-satunya yang penting dalam hidup beragama. Ia berpendapat bahwa
agama yang terlalu menekankan fungsinya sebagai penjaga moral, cenderung
untuk menanamkan rasa takut akan hukuman pada para pemeluknya daripada
rasa gembira penuh syukur. Rasa takut akan hukuman bisa mematikan
inisiatif dan kreativitas.
Agama menurut Whitehead merupakan suatu visi tentang sesuatu yang di
atas, di balik dan di dalam hal-hal yang senentiasa berubah atau
sementara ini; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk
dinyatakan; sesuatu yang ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan,
tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan. Daya
kekuasaan Tuhan adalah rasa bakti yang diinspirasikan Nya. Suatu agama
merupakan agama yang kuat kalau dalam ritualnya dan dalam cara
berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakan hati. Kebaktian
kepada Tuhan bukan jalan untuk mencari rasa aman, melainkan suatu
petualangan roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. Kematian
suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan
tinggi akan suatu petualangan.
6.3.Agama sebagai pemberi rasa damai
Dalam pemikiran Whitehead, agama selain memberikan visi dan motor
keterlibatan, juga memberikan rasa damai. Fungsi agama sebagai pemberi
rasa damai ini menurut dia amat penting dalam menunjang proses peradaban
manusia. Teori Whitehead tentang peradaban bersifat teistik. Proses
peradaban ia dasarkan atas pengertian tentang Tuhan sebagai sumber dan
tujuan aktivitas penyempurnaan diri. Rasa damai muncul dari keyakinan
bahwa Tuhan merupakan ukuran keselarasan dunia. Kendati tradegi, dalam
arti kehilangan, kegagalan, dan kebusukan, tak terhindarkan dalam proses
perkembangan, namun, berkat kehadiran Tuhan yang meresapi segala segi
kehidupan di dunia, ada semacam keteraturan dan keterarahan yang
terjamin dan bisa dipegang.
Menurut pandangan Whitehead, agama memberikan rasa damai yang diperlukan
untuk berani berpetualang di dunia yang bersifat sementara ini, karena
agama menyandarkan akan dimensi nilai yang tetap atau abadi. Pentingnya
agama bagi proses peradaban terletak dalam kemampuannya untuk memberikan
dasar yang memberi jaminan bahwa perjuangan yang tidak kunjung habisnya
untuk menyembpurnakan hidup di dunia ini, tidak sia-sia. Agama
memberikan jawaban positif atas masalah apakah kehidupan kita di dunia
yang fana ini bisa diberi makna yang langgeng. Kebahagiaan dan
kenikmatan di dunia ini selalu hanya bersifat sementara saja, tetapi
merupakan suatu keynataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia
mempunyai kerinduan eksistensial akan kebahagiaan yang langgeng
sifatnya. Menurut Whitehead, agama menyediakan bagi manusia suatu
jawaban atas eksistensial tersebut; dan kesadaran akan kebenaran ini
memberi rasa damai.
Catatan Kritis
Membaca pemikiran Whitehead, kita seperti membaca teori evolusi jilid
baru. Ketika ia memberikan fondasi argumentasi bahwa seluruh
entitas-entitas semesta itu “berproses”. Whitehead mengambil simbol
dasar ‘organisme’. Dan simbol dasar ini mau ditegaskan bahwa seluruh
realitas (dunia, manusia dan Tuhan) itu bersifat dinamis, selalu
berubah, dan mengandung unsur baru. Seluruh realitas berproses dan
unsur-unsurnya saling terkait. Setiap unsur atau bagian dari keseluruhan
sistem menyumbang pada kegiatan seluruh sistem sebagai satu kesatuan.
Sebaliknya, keseluruhan sistem sebagai satu kesatuan memperoleh kegiatan
masing-masing unsur atau bagiannya.
Filsafat “Proses” Whitehead kemudian juga berkorelasi tidak hanya pada
pemikirannya tentang alam semesta, tetapi sudah menjadi satu keseluruhan
pemikiran secara komprehensif. Baik ketika ia bicara tentang manusia,
agama, epistemologi, kosmologi dan sebagainya. Sudah menjadi statement
awal bahwa pemikiran Whitehead ini identik dengan teori evolusi yang
digagas Darwin. Perbedaannya Whitehead ingin bahwa dengan adanya proses
evolusi, kita tidak harus menolak eksistensi Tuhan. Tetapi yang ingin
diangkat oleh Whitehead kita masih bisa berTuhan walaupun kita menerima
teori evolusi yang “berproses”.
Implementasi pemikiran Whitehead sendiri saya rasa masih dapat
diimplementasi pada masa ini. Yang diinginkan Whitehead adalah
mengkonstruksi Tuhan dan Agama agar ia tidak dogmatis. Ia dinamis dalam
ruang dan waktu yang “berkesajarahan”. Sehingga ia cair dan relevan
diterapkan disetiap peradaban yang ada. Tapi sayangnya Whitehead tidak
menjelaskan secara rinci secara korelatif ke arah mana semua
entitas-entitas semesta termasuk Tuhan akan berproses. Karena bila Tuhan
berproses, ia berarti dinamis, dan ketika ia dinamis, ia pasti terikat
ruang dan waktu. Dan Tuhan pasti sama dengan makhluk-makluk lain yang
ada seperti: hewan, tumbuhan, dan manusia. Karena mereka sama-sama
berproses.
Namun di sisi lain, semangat Whitehead yang ingin, setidaknya
mendamaikan agama dengan manusia modern cukup menjadi acuan. Bahwa
Whitehead setidaknya berhasil membuktikan bahwa Tuhan dan Agama masih
bisa dikonstruksi agar dapat diterima oleh manusia-manusia modern.
Setidaknya itu menjadi jalan bahwa Tuhan dan Agama memang tetap
dibutuhkan oleh manusia sebagai makhluk yang multidimensional.
Daftar Pustaka
Whitehead, Alfred North. Process and Reality- Corrected Edition, edited by David Ray Griffin and Donald W. Sherburne . New York: The Free Press, 1979
Lowe, Victor. Understanding Whitehead. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1959
Sudarminta. Filsafat Proses- sebuah pengantar sistematik filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1991
Magnis Suseno, Franz. Menalar Tuhan – Filsafat Berhadapan dengan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. 1996
Thanks To : mirza-shahreza
0 komentar:
Posting Komentar
Kasih tau ya kalau link nya sudah tidak bisa lagi ^_^